KESIAPAN SOSIAL DALAM MENGHADAPI REVOLUSI INDUSTRI 4.0


Oleh Agung R Pamungkas, 12 May 2020
Sumber: tegalkab.go.id

Sampai saat sekarang ini, dunia sudah mengalami revolusi industri sebanyak 4 (empat) kali dan diperkirakan akan segera mengalami perubahan pada revolusi industri ke-5. ?Sebelum terjadinya revolusi industri, manusia melakukan segala kegiatan baik produktif maupun konsumtif dalam skala yang kecil dan cakupan yang sempit dikarenakan segala hal masih dilakukan secara manual dan terbatas. Kemudian lahirlah revolusi Industri 1.0 pada abad ke 18 yang ditandai dengan penemuan mesin uap. Dengan lahirnya revolusi industri 1.0, produktifitas manusia semakin meningkat. Pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan secara manual oleh manusia, mulai dikerjakan oleh mesin mekanis sehingga memungkinkan barang dapat diproduksi secara masal, masif dan hampir tanpa henti. Revolusi Industri 2.0 terjadi pada abad ke 19-20 melalui penggunaan listrik yang memunculkan mesin dan perangkat elektronik sehingga membuat biaya produksi menjadi semakin mengalami efisiensi dan efektifitas. Pada era tahun 1970an, dengan ditemukanya transistor, maka lahirlah revolusi Industri 3.0 ditandai dengan munculnya komputerisasi dalam lingkup industri, pertahanan, ekonomi dan sosial. Peradaban manusia semakin maju dan memasuki pergeseran di banyak aspek tak terkecuali budaya. Ilmu pengetahuan semakin berkembang dan revolusi Industri 4.0 terjadi pada sekitar tahun 2010an melalui munculnya internet of thing, machine learning, rekayasa genetika, cloud computing serta big data.

Revolusi industri 4.0 dinilai mengalami lompatan yang sangat drastis dibandingkan revolusi-revolusi industri sebelumnya. Bagaimana tidak, revolusi industri 4.0 hanya membutuhkan waktu 20 tahun untuk bergeser dari revolusi industri 3.0. pergeseran serupa membutuhkan waktu setidaknya 200 tahun pada revolusi industri 2.0. kecepatan dalam bertransformasi ini memaksa manusia untuk berubah dan menyesuaikan kehidupan mereka dengan era revolusi industri 4.0. Banyak pakar menyebut era ini dengan era digitalisasi. Hal ini dikarenakan hampir seluruh aspek kehidupan akan bergeser dan dipaksa bergeser masuk pada dunia digital. Uang fisik yang selama berabad-abad mulai bergeser menjadi fintech, reservasi transportasi dan akomodasi mulai bergeser secara digital, sarana dan prasarana publik mulai dikendalikan oleh Internet of Things (IoT). Dengan pergeseran kehidupan kita menjadi era digitalisasi, maka satu pertanyaan sederhana muncul yaitu “ siapkah kita menghadapi era revolusi industri 4.0 ini?”.

Banyak aspek dalam menilai kesiapan kita dalam memasuki era digitalisasi ini. Namun, pada artikel ini kita akan fokus membahas pada aspek sosial. Perlunya membahas aspek sosial dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 dikarenakan kita khususnya warga negara Indonesia perlu memiliki kesadaran yang baik ditengah besarnya disrupsi dan ketidakpastian yang dikenal dengan istilah VUCA. Menurut (Bennett & Lemoine, 2018), VUCA adalah akronim dari volatility, uncertainly, complexity, ambiguity yaitu dunia dimana segala sesuatu bersifat tidak tetap atau dapat berubah dalam waktu singkat, penuh ketidakpastian, kompleks dan banyak ambigu dalam segala hal. Contoh nyata dari vuca ini adalah munculnya fenomena layanan transportasi berbasis online. Di tahun 90an, kita tidak pernah menyangka bahwa suatu saat akan lahir perusahaan transportasi yang tidak memiliki satu armadapun untuk disewakan kepada pelanggan, tak perlu lagi menggunakan argo dan betapa mudahnya pelanggan untuk memesan jasa transportasi ini.



Jejaring tanpa batas

Revolusi industri 4.0 memungkinkan manusia untuk memiliki jejaring sosial tanpa batas, tanpa sekat dan tanpa jenjang di seluruh dunia (Schwab, 2016). Seorang individu dimungkinkan untuk bisa saling berkomunikasi, berkolaborasi, bertukar konten, menyampaikan aspirasi dan lain sebagainya di belahan dunia manapun tanpa memperdulikan status sosial, jabatan, profesi, usia serta gender. Keran demokrasi dibuka selebar-lebarnya dan tak akan ada yang bisa membendungnya sekalipun negara. Bisa kita rasakan bersama bahwa media sosial sekarang sudah mejadi ruang publik yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari. Demonstrasi kini tak hanya disuarakan melalui aksi turn kejalan, namun juga melalui media sosial. Penggalangan dana, bahkan pencitraan tokoh-tokoh yang mempunyai kepentingan-pun dinilai lebih efektif melalui media sosial dibandingkan pendekatan konvensional.


Degradasi etika, moral dan empati

Dengan adanya demokrasi tak terbatas pada dunia digital yang menganut prinsip kesetaraan, maka tiap individu berhak beraspirasi, membuat konten dan berbagi informasi. Dengan kebebasan tersebut, muncul pula dampak negatif dari revolusi industri 4.0 salah satunya adalah isu hoaks ( berita bohong ). Banyak dari kita yang tidak menyadari bahaya dari berita ataupun konten hoaks ini. Seseorang yang dengan sengaja menyebarkan atau meneruskan hoaks, tak hanya melanggar norma, namun juga dapat melanggar hukum dan agama karena berujung pada kedustaan dan fitnah. Konten hoaks mempunyai daya yang sangat besar dalam merusak fakta khususnya di indonesia. Sebagian besar warganet memiliki dua kesalahan fatal yang selalu diulang-ulang yaitu 1. Tidak pernah melakukan validasi dengan cara melakukan kroscek konten/berita tersebut pada sumber yang berwenang dan dapat dipercaya. 2. Akan meneruskan konten/berita hoaks tersebut ke jejaring lain yang mereka miliki (chat group, fans page, dll). Adapun motivasi utama seseorang meneruskan berita/konten (hoaks) adalah :

  1. Memiliki semangat berbagi ilmu dan pengetahuan. Sebagian masyarakat selalu ingin berbagi kebaikan dengan berbagi pengetahuan maupun wawasan yang mereka peroleh. Sayangnya semangat ini banyak yang tidak diimbangi dengan validasi informasi. Tak heran jika konten hoaks sering diawali dengan kalimat-kalimat positif.

  2. kebanggan. Banyak masyarakat yang merasa bangga bisa berbagi informasi pada jejaring sosial mereka.

  3. Sentimen. Sebagian besar masyarakat lebih menyukai konten – konten yang bersifat sentimen yang melibatkan perasaan daripada fakta. Tak heran informasi hoaks sering menggunakan kalimat - kalimat emosional contohnya seperti “ selama ini kita dibohongi, ternyata obat kanker itu sangat sederhana”

Degradasi etika terjadi ketika seseorang tak lagi mengindahkan etika-etika dalam bersosial secara digital dan melanggar kode etik dalam berbagai bidang seperti kode etik jurnalistik, kesehatan, dll. Contoh - contoh yang nyata degradasi ini adalah penyebarluasan disturbing picture tanpa sensor seperti foto korban kecelakaan dengan banyak darah dan atau anggota tubuh tak lengkap, foto pasien maupun jenazah dalam kondisi tidak baik, dll. Selain melanggar etika, tak jarang degradasi etika ini dibarengi dengan degradasi moral dan empati. Contoh nyata hal tersebut yang relevan dalam masa sekarang ini (pandemi) adalah membocorkan dan atau menyebarluaskan data rekam medis pasien penderita covid 19 secara detail beserta identitas dan alamat lengkap pasien. Padahal negara secara tegas melarang tindakan tersebut dan menghimbau masyarakat untuk dapat mengakses berita melalui kanal resmi yang valid.


Keamanan data dan privasi

Keamanan dan privasi data menjadi isu yang sangat penting pada revolusi indistri 4.0 yang tidak banyak disadari oleh masyarakat. Di era digitalisasi, data merupakan suatu sumber daya yang paling bernilai dan dijadikan komoditas oleh pihak – pihak tertentu sehingga munculah jargon “siapa yang memiliki data, maka dia yang berkuasa”. Hal ini dikarenakan hampir semua kegiatan pada revolusi industri 4.0 didasarkan pada data (evidence base). Semua sektor mulai dari peternakan sampai dengan politik menggunakan data yang kemudian diolah dan menghasilkan output yang dimanfaatkan oleh sektor-sektor tersebut. Sayangnya, banyak masyarakat yang belum memiliki kesadaran akan hal ini. Contohnya adalah perilaku sebagian masyarakat yang dengan mudahnya membagikan data pribadi orang lain bahkan data diri sendiri di media sosial seperti KTP, SIM, PASPOR, dll. Ada pula upaya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang menawarkan bantuan kuota internet dsb ditengah pandemi dengan syarat mengunggah identitas pribadi (KTP & KK).


Kesadaran hukum

Generasi muda yang tumbuh dalam era revolusi industri 4.0 memiliki perbedaan yang sangat signifikan dibandingkan era-era sebelumnya. Mereka sudah tidak lagi merasa terpatri aturan-aturan adat istiadat yang syarat dengan petuah dan kearifan lokal. Mereka cenderung lebih moderat, empiris dan merasa tidak dibatasi oleh suku, agama, ras maupun negara. Pandangan semacam ini disebut sebagai global citizenship dimana sudah tidak ada lagi sekat dalam dunia digital yang mengotak-kotakkan individu. Merekalah generasi milenial yang memiliki pola pikir futuristik dan dinamis serta kreatifitas yang sangat tinggi. Generasi milenial ini mampu membuat breakthru ditengah-tengah dunia VUCA ini. Maka dapat dipahami cita-cita anak pada zaman ini bukanlah menjadi pilot, astronot, dokter dll yang sering menjadi cita-cita standar generasi sebelumnya melainkan lebih memilih menjadi youtuber, gamer profesional, selebgram dll.

Tingginya kreatifitas dan daya cipta generasi milenial perlu juga dibarengi dengan kesadaran hukum (ini juga berlaku untuk generasi-generasi sebelumnya). Karena kreatifitas dan inovasi tanpa batas dapat melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku di masing-masing negara. Baru-baru ini sedang menjadi perbincangan publik dimana seorang youtuber yang membuat konten diluar batas yaitu melakukan prank dengan cara membagi-bagikan bantuan dalam bentuk logistik yang ternyata setelah dibuka berisi sampah dan batu bata. Hal itu mereka lakukan demi konten namun tidak memperhatikan norma-norma yang ada, terlebih lagi hal tersebut dilakukan ditengah masa pandemi. Merekapun harus menerima konsekuensi hukum yang harus mereka pertanggung jawabkan. Dari contoh kasus tersebut, perlu kita pahami bahwa tindakan sekecil apapun kita dalam dunia digital, harus kita pikirkan terlebih dahulu masak-masak karena tindakan tersebut akan kita pertanggungjawabkan.

Masih banyak isu – isu yang berkaitan dengan kesiapan sosial dalam menghadapi revolusi indistri 4.0 yang tidak dapat saya ulas satu persatu. Saya berharap artikel ini dapat memberikan wawasan dan yang utama adalah kesadaran kita dalam bersosial di dunia digital seperti sekarang ini. Kedewasaan dalam berjejaring sangatlah dibutuhkan agar kita tidak terjerumus pada hal-hal yang merugikan bagi diri kita sendiri maupun orang lain.


Referensi:

Bennett, N., & Lemoine, G. J. (2018). What VUCA really means for you. January 2014. https://doi.org/10.1016/j.bushor.2014.01.001

Schwab, K. (2016). The fourth industrial revolution. World Economic Forum.