Stunting adalah masalah gizi kronis yang
disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama, umumnya karena asupan
makan yang tidak sesuai kebutuhan gizi. Stunting
terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua
tahun.
Menurut
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek
adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur
(PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted
(pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Balita pendek
(stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah diukur panjang atau tinggi
badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada di bawah
normal. Balita pendek adalah balita dengan status gizi yang berdasarkan panjang
atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan dengan standar baku
WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005, nilai
z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai
z-scorenya kurang dari -3SD. Masalah balita pendek menggambarkan adanya masalah
gizi kronis, dipengaruhi dari kondisi ibu/calon ibu, masa janin, dan masa
bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita selama masa balita. Seperti
masalah gizi lainnya, tidak hanya terkait masalah kesehatan, namun juga
dipengaruhi berbagai kondisi lain yang secara tidak langsung mempengaruhi
kesehatan.
Stunting adalah
kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, sehingga
tinggi anak terlalu pendek untuk usianya. Kondisi kekurangan gizi ini terjadi
sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah lahir. Namun stunting baru terlihat setelah anak
berusia dua tahun. Stunting berdampak
pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, dan menurunkan
produktivitas. Jumlah kasus stunting tertinggi umumnya berada di Indonesia
bagian timur.
Stunting
didefinisikan sebagai indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari minus
dua standar deviasi (-2SD) atau dibawah rata-rata standar yang ada. Stunting pada anak merupakan hasil
jangka panjang konsumsi kronis diet berkualitas rendah yang dikombinaikan
dengan morbiditas, penyakit infeksi dan maslaah lingkungan.
Oleh
karenanya upaya perbaikan yaitu melalui upaya untuk mencegah dan mengurangi
gangguan secara langsung (intervensi gizi spesifik) dan upaya untuk mencegah
dan mengurangi gangguan secara tidak langsung (intervensi gizi sensitif).
Intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan di sektor kesehatan, namun hanya berkontribusi
30%, sedangkan 70% nya merupakan kontribusi intervensi gizi sensitif yang
melibatkan berbagai sektor seperti ketahanan pangan, ketersediaan air bersih
dan sanitasi, penanggulangan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan sebagainya.
Upaya intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada kelompok
1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu Hamil, Ibu Menyusui, dan Anak
0-23 bulan, karena penanggulangan balita pendek yang paling efektif dilakukan
pada 1.000 HPK. Periode 1.000 HPK meliputi yang 270 hari selama kehamilan dan
730 hari pertama setelah bayi yang dilahirkan telah dibuktikan secara ilmiah
merupakan
periode yang menentukan kualitas kehidupan. Oleh karena itu periode ini ada
yang menyebutnya sebagai "periode emas", "periode kritis",
dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai "window of opportunity".
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode tersebut,
dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan
pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka
panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya
kemampuan
kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit,
dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit
jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua,
serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya
produktivitas ekonomi.
Selain
pertumbuhan terhambat, stunting
juga dikaitkan dengan perkembangan otak yang tidak maksimal, yang menyebabkan
kemampuan mental dan belajar yang kurang, serta prestasi sekolah yang buruk. Stunting mencerminkan kekurangan gizi kronis selama periode
pertumbuhan dan perkembangan paling kritis di awal kehidupan. Ini didefinisikan
sebagai persentase anak-anak, berusia 0 sampai 59 bulan, yang usianya di bawah
minus dua standar deviasi (stunting sedang dan parah) dan minus tiga standar
deviasi (stunting parah) dari median Standar Pertumbuhan Anak WHO.
MENGAPA STUNTING MENJADI PENTING?
Menurut laporan The Lancet’s
pada tahun 2008, didunia ada 178 juta anak berusia kurang dari lima tahun
(balita) yang stunting dengan luas mayoritas di South Central Asia dan
sub-Sahara Afrika. Prevalensi balita stunting pada tahun 2007 di seluruh dunia
28,5% dan diseluruh negara berkembang sebesar 31,2%. Untuk benua Asia prevalensi balita stunting sebesar
30,6%, kejadian ini jauh lebih tinggi dibanding dengan prevalensi balita
stunting di Amrika Latin dan Karibia, yaitu sebesar 14,8%. Prevalensi balita
stunting di Asia Tenggara adalah 29,4%, lebih tinggi dibanding dengan Asia
Timur (14,4%) dan Asia Barat (20,9%). Di Indonesia, trend kejadian stunting
pada balita tidak memperlihatkan perubahan yang bermakna. Data Riskesdas
menunjukkan tahun 2010 sebesar 35,6%. Bila dibandingkan dengan batas “non public health problem” menurut WHO
untuk masalah kepedekan sebesar 20%, maka semua provinsi di Indonesia masih
dalam kondisi bermasalah kesehatan masyarakat. Prevalensi stunting di Jawa
Barat tahun 2007 adalah sebesar 35,4% (balita pendek 19,7% dan sangat pendek
15,7%) lalu pada tahun 2010 menunjukkan perubahan menjadi 33,7% (balita gizi pendek
17,1%) dan sangat pendek 16,6%. Prevalensi stunting di Kota Depok termasuk
dalam masalah kesehatan masyarakat karena lebih dari 20% yaitu 29%.
Hampir 70%
pembentukan sel otak terjadi sejak janin masih dalam kandungan sampai anak usia
2 tahun.Dilihat dari tingkat keparahannya pada anak usia 3 tahun stunting
severe, jika otaknya mengalami hambatan pertumbuhan, jumlah sel otak, serabut
sel otak dan penghubung sel otak nya berkurang maka akibatnya pada anak
laki-laki memiliki kemampuan membaca lebih rendah 15 point dan perempuan 11
poin dibandingkan dengan yang normal. Hal ini mengakibatkan penurunan
intelegensia (IQ), prestasi belajar menjadi rendah ? tidak dapat melanjutkan
sekolah ke perguruan tinggi?SDM rendah. Sehingga peluang kerja kecil ? akibatnya
penghasilan rendah dan kebutuhan pangan tidak tercukupi.
Dengan demikian menanggulangi stunting pada anak berarti meningkatkan sumber
daya manusia. Sumber daya yang baik akan menciptakan generasi yang baik pula.
Disamping itu, dari aspek estetikanya seseorang yang memiliki tubuh
proporsional akan kelihatan lebih menarik dibandingkan memiliki tubuh yang
pendek.
PENYEBAB STUNTING DI INDONESIA
1. Praktek pengasuhan
yang kurang baik, termasuk kurangnya
pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan,
serta setelah ibu melahirkan.Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan
bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara
ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping
Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita
berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru
pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak
lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan
sistem imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.
2. Masih terbatasnya
layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post
Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang
dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat
kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013
dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain
adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai
serta masih terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru
1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak
Usia Dini).
3. Masih kurangnya
akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih
tergolong mahal.Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI 2012, SUSENAS),
komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di New Delhi,
India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal daripada di Singapura.
Terbatasnya akses ke makanan bergizi di Indonesia juga dicatat telah
berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang mengalami anemia.
4. Kurangnya akses ke
air bersih dan sanitasi. Data yang
diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia
masih buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum
memiliki akses ke air minum bersih.
Faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan meliputi
kesehatan gizi ibu yang buruk, asupan makanan si Kecil yang tidak memadai, dan
infeksi. Secara khusus, hal ini meliputi status gizi dan kesehatan Ibu sebelum,
selama dan setelah kehamilan yang ikut berpengaruh pada pertumbuhan dan
perkembangan awal anak. Faktor lain dari sisi Ibu yang dapat menyebabkan stunting
meliputi perawakan anak yang pendek, jarak kelahiran terlalu dekat, dan
kehamilan remaja, yang mengganggu asupan nutrisi ke janin. Hal ini dikarenakan
adanya kebutuhan nutisi untuk pertumbuhan ibu yang masih remaja. Faktor lainnya
dari segi nutrisi meliputi asupan makanan untuk si Kecil yang tidak memadai,
termasuk pemberian ASI yang belum optimal (non-eksklusif ASI) dan makanan
pendamping ASI yang terbatas dalam kuantitas, kualitas dan variasinya.
Masalah gizi buruk
kronis (stunting) yang dihadapi masyarakat Indonesia masih parah.
Pemerintah akan melakukan pemantauan gizi pada daerah-daerah dengan jumlah
stunting tinggi. "Kami memetakan kembali mana daerah yang sudah baik,
belum baik, dan mana yang butuh perhatian khusus," kata Menteri
Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani seusai rapat Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan tentang stunting di Kantor Wakil
Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Rabu, 12 Juli 2017.
Menteri Kesehatan
Nila Moeloek mengatakan ada 37,2 persen atau sekitar 9 juta anak di Indonesia
mengalami stunting. Dalam tiga tahun terakhir. Namun dalam survei terakhir,
kata Nina, jumlah stunting mengalami penurunan menjadi 27,5 persen. "Tapi
dengan pemantauan status gizi," kata Nila. Nila mengatakan penanganan
stunting dilakukan tidak hanya dengan memberikan makanan tambahan. Tapi juga
dilakukan dengan faktor eksternal, misalnya perbaikan sanitasi, dan fasilitas
air bersih. "Kalau tidak ada air bersih, dia juga tidak pernah cuci
tangan, ya, cacing jadi ikut masuklah. Kemudian ibu anemia, atau ibu hamil
kurang darah," kata Nila. Menurut Nila, ibu hamil yang kurang gizi akan
menyebabkan anak lahir dengan berat badan rendah. Padahal seribu hari pertama
kehidupan sangat penting bagi perkembangan anak selanjutnya.
Stunting
merupakan refleksi jangka panjang dari kualitas dan kuantitas makanan
yang tidak memadai dan sering menderita infeksi selama masa kanak-kanak. Anak
yang stunting merupakan hasil dari masalah gizi kronis sebagai akibat
dari makanan yang tidak berkualitas, ditambah dengan morbiditas, penyakit
infeksi, dan masalah lingkungan. Stunting masa kanak-kanak berhubungan
dengan keterlambatan perkembangan motorik dan tingkat kecerdasan yang lebih
rendah. Selain itu, juga dapat menyebabkan depresi fungsi imun, perubahan
metabolik, penurunan perkembangan motorik, rendahnya nilai kognitif dan
rendahnya nilai akademik. Anak yang menderita stunting akan tumbuh
menjadi dewasa yang berisiko obesitas, glucose tolerance,
penyakit jantung koroner, hipertensi, osteoporosis.
STUNTING PADA BALITA
Anak balita dengan stunting, selain mengalami
gangguan pertumbuhan, umumnya memiliki kecerdasan yang lebih rendah dari anak
balita normal. Selain itu, anak balita stunting lebih mudah menderita penyakit
tidak menular ketika dewasa. Stunting adalah masalah gizi yang cukup signifikan terkait
dengan pertumuhan dan perkembangan si Kecil. Masalah ini mempengaruhi sekitar
162 juta balita di seluruh dunia, dan 8 juta balita di Indonesia (Riskedas
2013). Terdapat satu dari empat orang anak balita mengalami stunting.
Keadaan stunting
atau balita bertubuh pendek merupakan indikator masalah gizi dari keadaan yang
berlangsung lama. Seperti masalah kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, pola
asuh, dan pemberian asupan makanan yang kurang baik dari sejak si Kecil
lahir. Akibatnya, si Kecil tidak tumbuh sesuai dengan indikator tinggi badan
yang ideal sesuai usianya. Balita stunting, selain mengalami
gangguan pertumbuhan, umumnya memiliki kecerdasan yang lebih rendah dari anak
balita normal. Selain itu, anak balita stunting lebih mudah
menderita penyakit tidak menular ketika dewasa dan memiliki produktifitas kerja
yang lebih rendah. Dengan menanggulangi stunting pada si Kecil
sejak dini, Ibu turut meningkatkan kualitas hidupnya di masa depan.
Angka stunting
akibat kekurangan gizi di Indonesia masih sangat tinggi. Berdasarkan indeks
Tinggi Badan per Umur (TB/U), menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2013 angkanya mencapai 37,2 persen atau sekitar 8,8 juta balita Indonesia mengalami stunting.
Stunting pada anak balita merupakan konsekuensi dari
beberapa faktor yang sering dikaitkan dengan kemiskinan termasuk gizi,
kesehatan, sanitasi dan lingkungan. Ada lima faktor utama penyebab stunting
yaitu kemiskinan, sosial dan budaya,
peningkatan paparan terhadap penyakit infeksi, kerawanan pangan dan akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Faktor yang berhubungan dengan status
gizi kronis pada anak balita tidak sama antara wilayah perkotaan dan pedesaan,
sehingga upaya penanggulangannya harus disesuaikan dengan faktor yang
mempengaruhi. Stunting adalah masalah gizi utama yang akan berdampak
pada kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Selain itu, stunting
dapat berpengaruh pada
anak balita pada jangka panjang yaitu mengganggu.
Mereka yang
mengalami kekurangan gizi pada Seribu Hari Pertama Kehidupan, mempunyai tiga
resiko, yaitu resiko terjadinya penyakit tidak menular/ kronis, tergantung
organ yang terkena. Bila ginjal, maka akan menderita hipertensi dan gangguan
ginjal, bila pankreas maka akan beresiko penyakit diabetes tipe 2, bila jantung
akan beresiko menderita penyakit jantung, dan seterusnya; bila otak yang
terkena maka akan mengalami hambatan pertumbuhan kognitif, sehingga kurang cerdas
dan kompetitif; dan resiko gangguan pertumbuhan tinggi badan, sehingga beresiko
pendek/stunting, riwayat BBLR, pelayanan kesehatan dan
imunisasi, pengetahuan ibu, pola asuh
ibu, tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan
keluarga, ketersediaan
pangan dan sanitasi lingkungan.
STUNTING PADA ANAK
Anak yang stunted,
pada usia 8-10 tahun lebih terkekang/tertekan (lebih pendiam, tidak banyak
melakukan eye-contact) dibandingkan dengan anak non stunted jika ditempatkan dalam
situasi penuh tekanan. Anak dengan kekurangan protein dan energi kronis (stunting) menampilkan
performa yang buruk pada tes perhatian dan memori belajar, tetapi masih baik
dalam koordinasi dan kecepatan gerak. Pertumbuhan melambat, batas
bawah kecepatan tumbuh adalah 5cm/tahun decimal. Tanda tanda pubertas
terlambat (payudara, menarche, rambut pubis, rambut ketiak, panjangnya testis
dan volume testis, Wajah tampak lebih muda dari umurnya, Pertumbuhan gigi
yang terlambat. Kurang gizi merupakan salah satu masalah paling serius di
dunia, tetapi paling sedikit mendapatkan perhatian. Padahal biaya kemanusiaan
dan ekonomi untuk kurang gizi sangat besar, karena kurang gizi terutama menimpa
kelompok masyarakat kurang mampu, perempuan dan anak-anak.
Gambar 1. Balita Kekurangan Gizi
PENGARUH
STUNTING PADA ANAK
Anak-anak
yang mengalami stunted lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan, akan mengalami
stunted lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunted yang parah pada
anak-anak akan terjadi deficit jangka panjang dalam perkembangan fisik
dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal
di sekolah, dibandingkan anak- anak dengan tinggi badan normal. Anak-anak
dengan stunted cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering absen dari
sekolah dibandingkan anak-anak dengan status gizibaik. Hal ini memberikan
konsekuensi terhadap kesuksesan anak dalam kehidupannya dimasa yang akan
datang.
Stunted
akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembangan anak. Faktor dasar yang
menyebabkan stunted dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
intelektual. Penyebab dari stunted adalah bayi berat lahir rendah, ASI yang
tidak memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai, diare berulang, dan
infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitian sebagian besar anak-anak dengan
stunted mengkonsumsi makanan yang berada di bawah ketentuan rekomendasi
kadar gizi, berasal dari keluarga miskin dengan jumlah keluarga banyak,
bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas pedesaan.
Pengaruh gizi pada anak usia dini yang
mengalami stunted dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kognitif
yang kurang. Anak stunted pada usia lima tahun cenderung menetap sepanjang
hidup, kegagalan pertumbuhan anak usia dini berlanjut pada masa remaja dan kemudian
tumbuh menjadi wanita dewasa yang stunted dan mempengaruhi secara
langsung pada kesehatan dan produktivitas, sehingga meningkatkan peluang melahirkan
anak dengan BBLR. Stunted terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih
cenderung menghambat dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal
saat melahirkan. Menurut WHO,
apabila masalah stunting di atas 20% maka merupakan masalah kesehatan
masyarakat. Kesehatan, pendidikan serta
produktifitasnya di kemudian hari. Anak balita stunting
cenderung akan sulit mencapai potensi
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal baik secara fisik maupun psikomotorik.
Terdapat beberapa zat gizi yang berkaitan dengan stunting seperti
protein, zat besi, zink, kalsium, dan vitamin D, A dan C.8 Selain itu, faktor
hormon, genetik dan rendahnya pengetahuan orangtua dalam pengasuhan,
kemiskinan, rendahnya sanitasi lingkungan, rendahnya aksesibilitas pangan pada
tingkat keluarga terutama pada keluarga miskin, rendahnya akses keluarga
terhadap pelayanan kesehatan dasar, dan masih terjadi disparitas antar provinsi
yang perlu mendapat penanganan masalah yang sifatnya spesifik di wilayah rawan.
Stunting merupakan indikator yang sensitif untuk sosial ekonomi yang
buruk dan prediktor untuk morbiditas serta mortilitas jangka panjang. Stunting
pada anak usia dini itu bersifat reversible.
FAKTOR
RESIKO STUNTING
1.
PENYAKIT INFEKSI
Penyebab langsung malnutrisi adalah diet yang tidak
adekuat dan penyakit. Manifestasi malnutrisi ini disebabkan oleh perbedaan
antar jumlah zat gizi yang diserap dari makanan dan jumlah zat gizi yang
dibutuhkan oleh tubuh. Kenyataannya, malnutrisi dan infeksi sering terjadi pada
saat bersamaan. Malnutrisi dapat meningkatkan resiko infeksi, sedangkan infeksi
dapat menyebabkan malnutrisi yang mengarahkan ke lingkaran setan. Faktor
penyakit infeksi menunjukkan nilai yang paling besar sebagai faktor risiko penyebab
kejadian stunting pada batita (bawah tiga tahun). Sejalan dengan
kerangka konsep UNICEF 1990 salah satu faktor penyebab langsung terjadinya
masalah gizi adalah penyakit infeksi. Penyakit infeksi adalah suatu kondisi
pada saat batita diukur mengalami gangguan karena terjadinya infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA), diare, atau campak selama penelitian dengan didasarkan
pada diagnosis dokter.
2.
BBLR (BERAT BADAN LAHIR RENDAH)
BBLR merupakan faktor resiko stunting, disebut BBLR apabila memiliki riwayat berat badan lahir rendah memiliki riwayat panjang badan lahir rendah kurang dari 48 sentimeter, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) didefinisikan WHO yaitu berat lahir yang kurang dari 2500 gr. Di negara berkembang, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) lebih cenderung mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri yang terjadi karena buruknya gizi ibu dan meningkatnya angka infeksi dibandingkan dengan negara maju. Dampak dari bayi yang memiliki berat lahir rendah akan berlangsung antar generasi yang satu ke generasi selanjutnya. Anak yang BBLR kedepannya akan memiliki ukuran antropometri yang di masa dewasa. Bagi Perempuan yang lahir dengn berat rendah, memiliki resiko besar untuk menjadi ibu yang stunted sehingga akan cenderung melahirkan bayi dengan berat lahir rendah seperti dirinya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang stunted tersebut akan menjadi perempuan dewasa yang stunted juga dan akan membentuk siklus sama seperti sebelumnya.
Gambar
2. Gangguan Pertumbuhan Antar-Generasi
3. PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF YANG
TIDAK PARIPURNA
Bayi yang tidak diberikan ASI Eksklusif akan cenderung menjadi anak
stunting. Asi eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja bagi bayi sejak lahir
sampai usia 6 bulan. Pemberian ASI memiliki berbagai manfaat terhadap
kesehatan, terutama dalam hal perkembangan anak. Komposisi ASI banyak
mengandung asam lemak tak jenuh dengan rantai karbon panjang (LCPUFA, Long-Chain Polyunsaturated Fatty Acid)
yang tidak hanya sebagai sumber energi tetapi juga penting untuk perkembangan
otak karena molekul yang dominan ditemukan dalam selubung myelin. ASI juga
memiliki manfaat lain, yaitu meningkatkan imunitas anak terhadap penyakit.
Secara tidak langsung, ASI juga memberikan efek terhadap perkembangan
psikomotor anak, karena anak yang sakit akan sulit untuk mengeksplorasi dan
belajar dari sekitarnya. Resiko Stunting 3,7 kali lebih tinggi pada balita yang
tidak diberi ASI Eksklusif (ASI<6 bulan) dibandingkan dengan balita yang
diberi ASI Eksklusif, anak yang tidak mendapatkan kolostrum lebih beresiko
tinggi terhadap stunting. Hal ini mungkin disebabkan karena kolostrum
memberikan efek perlindungan pada bayi baru lahir dan bayi yang tidak menerima
kolostrum mungkin memiliki insiden, durasi dan keparahan penyakit yang lebih
tinggi seperti diare yang berkontribusi terhadap kekurangan gizi.
4.
STATUS
PEMBERIAN IMUNISASI YANG TIDAK LENGKAP
Pemberian imunisasi pada anak memiliki tujuan penting yaitu untuk
mengurangi resiko morbiditas (kesakitan) dan mortalitas (kematian) anak akibat
penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, seperti TBC, Difteri,
Tetanus, Pertusis, Polio, Campak, Hepatitis B. Status imunisasi pada anak adalah salah satu
indikator kontak dengan pelayanan kesehatan. Karena diharapkan bahwa kontak
dengan pelayanan kesehatan akan membantu memperbaiki masalah gizi dan status
imunisasi juga diharapkan akan memberikan efek positif terhadap status gizi
jangka panjang, sehingga status pemberian imunisasi yang tidak lengkap
merupakan faktor resiko terjadinya stunting.
5.
RENDAHNYA
PENDIDIKAN ORANG TUA
Semakin rendah pendidikan orang akan semakin membesar resiko kejadian
stunting, dikarenakan rendahnya pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap
pengasuhan anak. Rendahnya pendidikan ibu akan menjadi faktor resiko kejadian
stunting pada anak. Semakin rendah pendidikan ibu akan semakin memperbesar
faktor resiko stunting, dikarenakan tingkat pengetahuan yang rendah akan
mempengaruhi cara pengasuhan balita dan anak termasuk dengan pemberian asupan
gizi pada anak. Rendahnya pendidikan ibu merupakan penyebab utama dari kejadian
stunting pada anak sekolah dan remaja di Nigeria. Ibu yang berpendidikan lebih
mungkin untuk membuat keputusan yang akan meningkatkan gizi dan kesehatan
anak-anaknya. Selain itu Ibu yang berpendidikan cenderung menyekolahkan semua
anaknya sehingga memutus mata rantai kebodohan serta akan lebih baik
menggunakan strategi demi kelangsungan hidup anaknya, seperti ASI yang memadai,
imunisasi, terapi rehidrasi oral dan Keluarga Berencana. Maka dari itu,
mendidik wanita akan menjadi langkah yang berguna dalam pengurangan prevalensi
malnutrition, terutama stunting.
6.
BURUKNYA
SANITASI LINGKUNGAN
Faktor lingkungan yang berisiko terhadap kejadian stunting pada
batita adalah sanitasi lingkungan, bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga
yang mempunyai fasilitas air bersih memiliki prevalensi diare dan stunting lebih
rendah daripada anak-anak dari keluarga yang tanpa fasilitas air bersih dan
kepemilikan jamban, risiko batita stunting yang tinggal dengan sanitasi
lingkungan yang kurang baik lebih tinggi dibanding dengan sanitasi yang baik. Hal
ini terjadi karena sebagian besar tempat tinggal batita belum memenuhi syarat
rumah sehat, ventilasi dan pencahayaan kurang. Penggunaan sarana
pembuangan limbah dan air minum yang tidak sesuai standar kesehatan juga
menjadi faktor resiko terjadinya stunting pada balita dan anak.
7.
STATUS
EKONOMI KELUARGA
Penghasilan merupakan faktor penting dalam penentuan kualitas dan
kuantitas makanan dalam suatu keluarga. Di negara berkembang biasanya
masyarakat yang berpenghasilan rendah , membelanjakan sebagian besar dari
pendapatannya untuk membeli makanan. Tingkat penghasilan juga menentukan jenis
pangan yang akan dikonsumsi. Biasanya di negara yang berpendapatan rendah
mayoritas pengeluaran pangannya untuk membeli serelia, sedangkan di negara yang
memiliki pendapatan per-kapita tinggi, pengeluaran bahan pangan protein akan
meningkat. Faktor ekonomi dan lingkungan lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan
anak dari pada faktor genetik dan etnik. Status ekonomi rumah tangga dipandang memiliki dampak yang
signifikan terhadap probabilitas seorang anak menjadi pendek dan kurus. Dalam
hal ini WHO merekomendasikan status gizi pendek atau stunting sebagai alat ukur
atas tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sebagai salah satu indikator untuk
memantau ekuitas dalam kesehatan.
8.
PEKERJAAN
ORANG TUA
Pekerjaan merupakan Faktor
penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas pangan, karena pekerjan
berhubungan dengan pendapatan. Semakin rendahnya pendapatan maka akan semakin
memperbesar resiko kejadian stunting. Dengan demikian, terdapat asosiasi antara
pendapatan dengan gizi, apabila pendapatan meningkat maka bukan tidak mungkin
kesehatan dan masalah keluarga yang berkaitan dengan gizi mengalami perbaikan.
Hasil penelitian mengemukakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola asuh
makan dengan pekerjaan Ibu. Ibu yang bekerja di luar rumah dapat menyebabkan
anak tidak terawat, sebab anak balita sangat bergantung pada pengasuhnya atau
anggota keluarga yang lain. Selain itu Ibu yang bekerja diluar rumah cenderung
memiliki waktu yang terbatas untuk melaksanakan tugas rumah tangga dibandingkan
dengan ibu yang tidak bekerja, oleh karena itu pola pengasuhan anak akan
berpengaruh dan pada akhirnya pertumbuhan anak akan berpengaruh pada akhirnya
pertumbuhan dan perkembangan anak juga akan terganggu.
9.
KETERSEDIAAN
PANGAN
Kemampuan untuk menyediakan pangan juga dapat membesar resiko
terjadinya stunting. Semakin sedikit kemampuan dalam menyediakan ketersediaan
pangan akan memperbesar resiko kejadian stunting pada anak. Keluarga yang mampu
menyediakan pangan secara variatif akan memperoleh gizi yang cukup, tetapi
sebaliknya keluarga yang tidak mampu menyediakan pangan untuk keluarga maka
akan memperbesar resiko kejadian stunting.
10. KEKURANGAN ZINK
Anak balita stunting cenderung akan sulit mencapai potensi pertumbuhan
dan perkembangan yang optimal baik secara fisik maupun psikomotorik. Zink
merupakan salah satu zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit tetapi
kebutuhannya sangat esensial bagi kehidupan. Hal tersebut yang dapat
mempengaruhi proses pertumbuhan pada sebagain besar anak balita, mengingat zink
sangat erat kaitannya dengan metabolisme tulang sehingga zink berperan secara
positif pada pertumbuhan dan perkembangan. Anak membutuhkan zink lebih banyak
untuk pertumbuhan dan perkembangan secara normal, melawan infeksi dan
penyembuhan luka. Zink berperan dalam produksi hormon pertumbuhan. Zink
dibutuhkan untuk mengaktifkan dan memulai sintesis hormon pertumbuhan/GH. Pada
defisiensi zink akan terjadi gangguan pada reseptor GH dan produksi GH yang
resisten.
Zinc merupakan zat gizi yang esensial dan
telah mendapat perhatian yang cukup besar akhir akhir ini. Kehadiran zinc dalam
tubuh akan sangat mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh, sehingga berperan
penting dalam pencegahan infeksi oleh berbagai jenis bakteri patogen.
Berdasarkan peneltian yang sudah ada, kekurangan zinc pada saat anak-anak dapat
menyebabkan stunting (pendek) dan terlambatnya kematangan fungsi seksual.
Akibat lain dari kekurangan zinc adalah meningkatkan resiko diare dan infeksi
saluran nafas. Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses kumulatif
yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang siklus kehidupan.
Pada masa ini merupakan proses terjadinya stunting pada anak dan peluang peningkatan
stunting terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan.Faktor gizi ibu sebelum dan
selama kehamilan merupakan penyebab tidaklangsung yang memberikan kontribusi
terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin.
Stunting merupakan
masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat asupan gizi yang kurang dan
berlangsung dalam keadaan yang lama , misalnya kemiskinan, perilaku hidup tidak
sehat, pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan
akibat orang tua/keluarga tidak tahu untuk memberkan makanan apa yang sesuai
dengan kebutuhan gizi anaknya. Anak stunting tidak disebabkan oleh keturunan,
tetapi lebih banyak disebabkan oleh rendahnya asupan gizi dan penyakit berulang
yang didasari oleh sanitasi lingkungan yang tidak sehat. Karena sanitasi yang
tidak sehat akan memicu anak untuk terinfeksi penyakit. Sehingga anak yang
sering sakit akan terganggu tumbuh kembangnya.
Untuk status gizi orangtua, ternyata status gizi ibu sangat berkaitan dengan
kejadian balita stunting. Apabila Ibu pendek-ayah normal maka prevalensi balita
pendek pasti tinggi. Tetapi apabila ibu normal-meskipun ayah pendek, maka
prevalensi balita pendek akan rendah dibandingkan ibu yang pendek. Artinya
status gizi ibu hamil sangat menentukan akan melahirkan balita pendek. Hal ini
dikarena ibu hamil yang mengkonsumsi energi dan protein di bawah kebutuhan
minimal (asupan gizi kurang) akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan janin
yang dikandungnya. Apabila janin dalam kandungan mendapatkan gizi yang cukup,
maka ketika lahir berat dan panjang badannya akan normal. Anak stunting selain
mengalami gangguan pertumbuhan, umumnya memiliki kecerdasan yang lebih rendah
dari anak normal. Stunting (pendek) merupakan salah satu bentuk gizi kurang
yang ditandai dengan indikator tinggi badan menurut umur. Kekurangan
gizi masa anakanak selalu dihubungkan dengan kekurangan vitamin
mineral yang spesifik dan berhubungan dengan mikronutrien tertentu.
Beberapa tahun terakhir ini telah banyak penelitian mengenai dampak dari kekurangan
mikronutrien, dimulai dari meningkatnya resiko terhadap penyakit
infeksi dan kematian yang dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan mental. Konsekuensi defisiensi mikronutrien selama masa
anak-anak sangat berbahaya.
Kekurangan
protein murni pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor
pada anak-anak di bawah lima tahun. Kekurangan protein juga sering
ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan energi yang menyebabkan kondisi
yang dinamakan marasmus. Protein sendiri mempunyai banyak fungsi, diantaranya
membentuk jaringan tubuh baru dalam masa pertumbuhan dan perkembangan tubuh,
memelihara jaringan tubuh, memperbaiki serta mengganti jaringan yang aus, rusak
atau mati, menyediakan asam amino yang diperlukan untuk membentuk enzim
pencernaan dan metabolisme, dll.
Ibu
hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin mengalami intrauterine growth retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir
dengan kurang gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Ibu
memegang peranan penting dalam mendukung upaya mengatasi masalah gizi, terutama
dalam hal asupan gizi keluarga, mulai dari penyiapan makanan, pemilihan bahan
makanan, sampai menu makanan. Ibu yang memiliki status gizi baik akan
melahirkan anak yang bergizi baik. Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan
pangan baik dalam jumlah maupun mutu gizinya sangat berpengaruh bagi status
gizi anak. Keluarga dengan penghasilan relatif tetap, prevalensi berat kurang
dan prevalensi kependekan lebih rendah dibandingkan dengan keluarga yang
berpenghasilan tidak tetap. Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan
disebabkan kurangnya asupan makanan yang memadai dan penyakit infeksi yang
berulang, dan meningkatnya kebutuhan metabolic serta mengurangi nafsu makan,
sehingga meningkatnya kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini semakin
mempersulit untuk mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang
terjadinya stunting. Stunting menggambarkan kejadian kurang gizi pada balita
yang berlangsung dalam waktu yang lama, yang berpengaruh pada fisik dan juga
pada fungsi kognitif pada anak. Pendek dan sangat pendek adalah status gizi
yang didasarkan pada indeks PB/U atau TB/U yang sekarang dikenal dengan stunted atau severely stunted.
Gambar
3. Model Pengendalian Faktor Risiko Stunting pada Batita
KESIMPULAN DAN SARAN
Cara Penanggulangan Stunting
Ibu dapat melakukan tindakan yang memiliki
dampak langsung pada pencegahan dan penanggulangan stunting dengan
mengatasi penyebab-penyebab yang sudah dibahas di atas. Penanggulangan stunting yang
paling efektif dilakukan meliputi:
1. Pada ibu hamil
2. Pada saat bayi lahir
3. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun
4. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
harus diupayakan oleh setiap rumah tangga.
Stunting atau kondisi balita pendek dapat dicegah dengan
langkah-langkah yang dilakukan sejak dini. Pencegahan dapat dilakukan semenjak
si Kecil masih dalam kandungan dan pada saat 1000 hari petama kehidupannya.
Pemberian asupan nutrisi yang tepat dan seimbang dapat menghindarkan si Kecil
dari masalah stunting. Untuk Bayi baru lahir hanya mendapatkan Asi saja hingga
usia 6 bulan (ekslusif), setelah 6 bulan diberi MP-ASI. Sampai bayi berumur 2
tahun. MP-ASI yang padat gizi diberikan bersama dengan ASI dapat memenuhi
kebutuhan gizi bayi dan balita. Bagi Ibu nifas di samping mendapat makanan
bergizi juga harus diberi suplement zat gizi (kapsul vitamin A).
Untuk calon ibu, ibu hamil dan ibu menyusui
terapkan pola hidup bergizi dan seimbang yaitu empat pilar gizi.
Empat pilar gizi seimbang dalam Tumpeng Gizi
Seimbang yaitu
Saran yang dapat diberikan adalah:
1) Dinas Kesehatan perlu melakukan pengumpulan data
terkait angka kejadian stunting pada anak balita melalui survey penentuan status
gizi (PSG) serta melakukan upaya peningkatan pengetahuan ibu terkait penyebab
dan dampak terjadinya stunting.
2) Puskesmas perlu mengadakan kegiatan penyuluhan
bagi ibu anak balita terkait upaya untuk memenuhi status gizi dan meningkatkan
status kesehatan.
3) Peningkatkan pelayanan kesehatan bagi
puskesmas melalui kegiatan deteksi dini dengan mengukur tinggi badan anak
balita secara rutin setiap bulan.
4) Masyarakat perlu meningkatan asupan makanan
yang banyak mengandung zink, terutama sumber bahan makanan hewani serta
memperhatikan pengolahan bahan makanan dengan baik dan benar.
Secara langsung masalah gizi disebabkan oleh rendahnya asupan gizi dan
masalah kesehatan. Selain itu asupan gizi dan masalah kesehatan merupakan
dua hal yang saling mempengaruhi. Adapun pengaruh tidak langsung adalah
ketersediaan makanan, pola asuh dan ketersediaan air minum (bersih), sanitasi
dan pelayanan kesehatan. Seluruh faktor penyebab ini dipengaruhi oleh beberapa
akar masalah yaitu kelembagaan, politik dan ideologi, kebijakan ekonomi, dan
sumberdaya, lingkungan, teknologi, serta kependudukan.
Untuk menentukan stunted pada anak dilakukan
dengan cara pengukuran. Pengukuran tinggi badan menurut umur dilakukan pada
anak usia diatas 2 thaun, Antropometri merupakan ukuran dari tubuh, sedangkan
antropometri gizi adalah jenis pengukuran dari beberapa bentuk tubuh dan
komposisi tubuh menurut umur dan tingkatan gizi yang digunakan untuk mengetahui
ketidakseimbangan protein dan energi. Anak yang menderita stunting berdampak
tidak hanya pada fisik yang lebih pendek saja, tetapi juga pada kecerdasan, produktifitas
dan prestasinya kelak setelah dewasa, sehingga akan menjadi beban negara.
Selain itu aspek estetika, seseorang yang tumbuh proporsional akan kelihatan
lebih menarik dari yang tubuhnya pendek.
Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam kandungan dengan cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi ibu hamil artinya setiap ibu hamil harus mendapatkan makanan yang cukup zat gizi, mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe) dan terpantau kesehatannya. Selain itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat ASI saja sampai umur 6 bulan (eksklusf) dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas selain mendapat makanan cukup gizi juga diberi suplementasi zat gizi berupa kapsul vitamin A. Dengan pelayanan kesehatan dan gizi paripurna diharapkan mencapai tumbuh kembang yang optimal serta mengatasi bayi stunting pada Seribu Hari Pertama Kehidupan.