Pada era orde baru, praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN) dan kepentingan penguasa seolah-olah
sudah menjadi menjadi perilaku di kalangan birokrat. Bahkan birokrasi yang
berjalan di dalamnya seakan-akan dibangun untuk memperkuat para penguasa dan
para kroninya sebagai kerajaan pejabat (Thoha, 2012). Sedangkan, birokrasi berfungsi untuk menentukan kemiskinan,
kesenjangan, dan pertumbuhan ekonomi suatu negara (Rasul and Rogger, 2018). Perilaku birokrat
yang cenderung melalukan KKN semakin mengerucutkan image negatif birokrasi
publik di masyarakat (Dwiyanto et al., 2002).
Oleh karena itu, Pemerintah melakukan reformasi birokrasi untuk melakukan
perubahan yang lebih baik terhadap birokrasi sebelumnya.
Memasuki era reformasi, tantangan
pemerintah Indonesia dalam mewujudkan
good governance masih mengalami hambatan dengan adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap layanan
publik. Krisis yang muncul tersebut akibat bangunan birokrasi masa lalu, bahkan memicu protes baik di pemerintah pusat maupun daerah
(Dwiyanto et al., 2002; Thoha, 2012). Pada saat yang sama, implikasi
perilaku birokrat yang cenderung tidak mendukung pelayanan publik telah
menyebabkan tujuan awal birokrat dalam memberikan layanan publik bergeser ke
arah pragmatisme dan menurunkan integritas dan kualitasnya (Horhoruw et al.,
2012). Seharusanya penyelenggaraan layanan publik harus dilakukan
tanpa adanyaKKN (Girindrawardana, 2002).
Reformasi
birokrasi pada pemerintahan Indonesia dilakukan untuk mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik dengan aparatur berintegritas tinggi, produktif, dan
melayani secara prima dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik. Upaya yang
dilakukan menuju reformasi birokrasi dengan melakukan pembaharuan pada segala
bidang pemerintahan, termasuk mengubah amandemen UUD 1945 beberapa kali (Haning, 2018). Mendukung pernyaatan tersebut, Nurhestitunggal and Muhlisin (2020) menyampaikan bahwa
reformasi birokrasi merupakan bagian dari pembaharuan menyeluruh di bidang
ekonomi, politik, hukum, serta agama dan sosial budaya. Reformasi tersebut
ditujukan untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, dan mempercepat
terwujudnya kesejahteraan rakyat. Selain dalam rangka mengamankan demokrasi dan
mendukung perekonomian, reformasi juga ditujukan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik (good governance) (Huque and Zafarullah, 2018).
Penerapan kebijakan
otonomi daerah yang bertujuan agar daerah dapat mengembangkan dan
mengoptimalkan potensinya termasuk dalam mewujudkan good governance memiliki dampak negatif lainnya yaitu
terjadinya KKN yang meluas di tingkat daerah, disparitas layanan publik antar
daerah, dan ketidaksiapan daerah untuk mengelola secara mandiri tugas dan
fungsi pemerintahan (Girindrawardana, 2002). Di sisi lain kegagalan birorkasi
dalam merespon kondisi krisis (krisis ekonomi, kepercayaan, sosial, kesehatan, maupun
politik) dan ketidakpastian akan menghambat tercapainya good governance.
Kegagalan itu sangat ditentukan oleh faktor kekuasaan, insentif, akuntabilitas,
dan budaya birokrasi (Dwiyanto et al., 2002) dan komponen birokrasi merupakan
komponen yang paling lambat dalam perubahan (Haning, 2018).
Good
governance merupakan muara dari penyelenggaraan pelayanan publik
yang membutuhkan kompetensi birokrasi untuk mendesain dan melaksanakan
kebijakan (Mutula and Wamukoya, 2009). Idealnya, birokrasi melakukan
penataan administrasi kebijakan publik dan terlepas dari semua kepentingan
politik untuk meningkatkan pelayanan publil. Namun, pada kenyataannya birokrat
sulit terlepas dari kepentingan politik (Haning, 2015). Perjalanan reformasi
birokrasi di Indonesia mengalami banyak hambatan dan tantangan, sehingga dibutuhkan
sebuah formula lain untuk mendorong good governance yaitu dengan
melakukan penyederhanaan birokrasi agar pemerintah dapat lebih agile merespon
perubahan lingkungan yang bergejolak untuk meningkatkan pelayanan publik.
Penyederhanaan birokrasi
merupakan bagian dari reformasi tata kelola sektor publik yang lebih luas
secara global dengan mengacu pada 4 (empat) bidang tematik yaitu: reformasi
peran negara, reformasi fungsi sentral pemerintahan, reformasi terhadap
akuntabilitas dan mekanisme pengawasan, serta reformasi birokrasi dan manajemen
organisasi layanan publik (Turner, 2013). Reformasi birokrasi bukanlah isu baru
dalam administrasi publik (Nurhestitunggal
and Muhlisin, 2020). Penyederhanaan birokrasi menjadi
dua level eselon diperlukan karena karakteristik yang terlalu birokratis sudah
tidak sejalan dengan paradigma administrasi publik dan periode reformasi tata
kelola sektor publik terkini (Nurhestitunggal
and Muhlisin, 2020). Menurut, Ugyel (2014) mengklasifikasikan administrasi
publik yang ideal ke dalam 4 (empat) tipe: patronasi, administrasi publik
tradisional, new public management (NPM), serta model baru yang sedang
berkembang. Karakter yang birokratis merupakan ciri dari administrasi publik tradisional,
sedangkan untuk model mutakhir, lebih menekankan pada collaborative
governance (Ugyel,
2014).
Pelaksanaan grand design
reformasi birokrasi, sampai dengan roadmap kedua memang telah mencapai banyak
hal. Reformasi birokrasi memang telah menghasilkan "small wins"
yang mengarah pada kemajuan positif dalam administrasi publik, namun belum
cukup untuk merubah hegemoni model Old Public Management- Patronage pada
birokrasi Indonesia (Nurhestitunggal
and Muhlisin, 2020). Penyederhanaan birokrasi
melalui penyederhanaan eselonisasi menjadi dua level, sebagai salah satu agenda
prioritas pembangunan lima tahun ke depan, dapat menjadi upaya memenuhi tenggat
waktu untuk mencapai visi “Pemerintahan Kelas Dunia” dalam Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010-2025 (Nurhestitunggal
and Muhlisin, 2020).
Penyederhanaan struktur
birokrasi secara teroretis, diperlukan karena karakteristik yang terlalu
birokratis sudah tidak sejalan dengan paradigma administrasi publik dan periode
reformasi tata kelola sektor publik terkini. Secara empiris, penyederhanaan
struktur birokrasi diperlukan karena menghambat peningkatan profesionalitas
aparatur yang terlihat dari gejala bluffocracy dan consultocracy.
Melalui restrukturisasi, sebagai bagian dari reformasi yang komprehensif
terhadap birokrasi Indonesia, optimis agar tugas birokrasi dalam making
program benefit delivered, sehingga masyarakat menikmati pelayanan,
menikmati hasil pembangunan. (Nurhestitunggal
and Muhlisin, 2020)
Daya saing merupakan faktor penting bagi dalam melakukan pembangunan yang berkelanjutan dan peningkatan pelayanan. Organisasi
yang berorientasi kepada daya saing akan menghasilkan lebih banyak, lebih cepat, dan lebih baik dengan sedikit menggunakan sumber daya untuk
meningkatkan kinerja organisasi (Estevez and
Janowski, 2013). Governance (tata
kelola) berperanan penting dalam meningkatkan maupun menjaga daya saing. Governance
sangat berhubungan dengan kemampuan untuk mengarahkan (to steer) elemen-elemen
yang ada pada negara termasuk pelayanan publik (Bloom, 1991). Pada lingkungan
yang dinamis, governance masih berkontribusi penting terutama dalam
merespon, mengelola hingga membuat keputusan tentang perubahan lingkungan yang
terjadi (Vernanda,
2020). Respon yang diberikan oleh organisasi
haruslah cepat dan tepat karena semakin lama organisasi bertindak berbanding
lurus dengan tantangan perubahan lingkungan lainnya yang lebih besar (Lusch,
Vargo and Tanniru, 2010).
Agile governance dapat menjadi
solusi bagi pemerintah untuk menghadapi era double disruption. Dalam
berbagai literature, agile governance muncul untuk mendorong
semua yang ada didalam entitsa organisasi agar menerapkan tata kelola
organisasi yang agile (gesit) guna meningkatkan proses kinerja dan
produktivitas organisasi (Luna,
Kruchten and de Moura, 2015). Agile governance
diartikan sebagai kemampuan organisasi untuk merespon secara cepat perubahan
yang tak terduga dalam memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang semakin
berubah (Holmqvist
and Pessi, 2006). Sedangkan, pendapat lain
tentang agile governance dikemukakan oleh Huang, Pan dan
Ouyang, (2014) bahwa dapat diartikan sebagai
kemampuan organisasi untuk dapat melakukan efisiensi biaya, serta meningkatkan
kecepatan dan ketepatan dalam mengeksploitasi peluang untuk menjadikan
tindakan-tindakan inovatif dan kompetitif.
Selain itu, Luna,
Kruchten dan de Moura (2015) mendeskripsikan 6 (enam)
prinsip agile governance yakni: (1)
good enough governance : tingkat tata kelola harus selalu disesuaikan
dengan konteks organisasi; (2) business-driven: bisnis harus menjadi alasan
untuk setiap keputusan dan tindakan. (3) human focused: masyarakat harus
dihargai dan diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam tata kelola
pemerintahan; (4) based on
quick wins: keberhasilan yang
diraih secara cepat harus dirayakan dan dijadikan motivasi untuk lebih mendapatkan banyak rangsangan
dan hasil; (5) systematic and adaptive approach: tim harus dapat
mengembangkan kemampuan intrinsik untuk dapat merespon perubahan secara cepat
dan sistematis; (6) simple design and continuous refinement: tim harus
mampu memberikan hasil yang cepat dan selalu meningkat. Dalam menerapan prinsip
agile governance ini, dibutuhkan kemampuan organisasi untuk memanfaatkan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang digunakan untuk mengeksploitasi
lingkungan yang cepat berubah (Tiwana and
Konsynski, 2010).
TIK dapat mempengaruhi suatu
organisasi terhadap proses bisnisnya dalam pengambilan keputusan untuk
menempatkan organisasi pada posisi strategis dan berkompeten. Melalui
kapabilitas dan kapasistas organisasi dalam mengoptimakan TIK, organisasi akan
lebih mudah untuk menjadi agile dalam menghadapi tantangan dan hambatan
dari perubahan lingkungan yang bergejolak (Vernanda, 2020). Dalam beberapa tahun terakhir,
pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia, berusaha memanfaatkan TIK untuk
meningkatkan kualitas administrasi pemerintahan dan kualitas komunikasi dengan
warga negara. TIK menawarkan peluang kepada pemerintah untuk lebih agile dalam
memberikan layanan dan berinteraksi yang lebih baik kepada semua konstituen;
masyarakat, kalangan bisnis, dan mitra pemerintah lainnya (Chen, 2002).
Implementasi TIK pada pemerintahan
memberikan banyak manfaat dalam berbagai urusan. Manfaat tersebut antara lain peningkatan
efisiensi, kualitas layanan publik, transparansi, partisipasi publik, dan
pengembangan ekonomi (Kumar and
Best, 2006). Dampak positif dari TIK
tersebut merupakan bagian dari prinsip-prinsip good governance (Grönlund, Andersson and Hedström, 2005). Kunci implementasi TIK pada pemerintahan bukan
adopsi, melainkan adaptasi agar bisa melakukan ekploitasi dan explorasi sumber
daya untuk meningkatkan kinerja.
Proses reformasi birokrasi
Indonesia menuju good governance sempat terjadi turbulensi karena terjadinya
wabah virus COVID-19. Pandemi COVID-19 bukan hanya berdampak pada sektor publk,
melainkan juga memberikan dampak yang merugikan sangat besar pada sektor
bisnis. Efeknya, pemerintah gagap dan tidak siap menangani gejolak perubahan
yang cepat, kondisi yang bingung, situasi yang tidak jelas dan sangat kompleks.
Bermula pada maret 2020, kasus
COVID-19 Indonesia kian meningkat dan menyebar ke berbagai daerah, sehingga
hampir semua kegiatan terhambat bahkan berhenti termasuk pelayanan publik. Mengingat dampak yang ditimbulkan dari
pandemi COVID-19 ini cukup besar, pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan
mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka mempercepat
penanganan COVID-19. Ini membuat beberapa aktivitas yang biasa dilakukan secara
langsung diberhentikan. Pelayanan birokrasi yang semula dilakukan secara
konvensional (tatap muka) dipaksa untuk berapdaptasi dengan memaksimalkan
pelayanan birokrasi berbasis teknologi. Dengan harapan birokrasi tetap mampu
melayani masyarakat dengan baik dalam situasi pandemi COVID-19. Birokrasi
pemerintah dapat mengembangkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi
dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan, mempermudah interaksi dengan
masyarakat, dan mendorong akuntabilitas, serta transparansi pelayanan publik (Kumar and
Best, 2006).
Penarapan TIK pada sektor publik
dapat membantu birokrat dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan menyajikan
pelayanan publik yang berkualitas(Alhomod and
Shafi, 2012). Pada situasi pandemi,
pelayanan birokrasi dipaksa untuk mengubah strategi agar tetap bisa melayani
masyarakat dengan baik yang diharapkan mampu membuat perilaku kerja birokrat tetap
efektif dan efisien meskipun bekerja dari rumah (work from home). Lembaga
publik tetap harus bertanggung jawab dalam menjalankan pelayanan, dukungan TIK dapat
menjadi peluang pemerintahan lebih responsif dan agile. Selain itu, Scott (2006), juga mendefinisikan penerapan
teknologi informasi oleh sebuah lembaga pemerintahan digunakan sebagai upaya
mentransformasikan hubungan dengan rakyat, sektor swasta maupun aktor
kepentingan lainya sehingga memunculkan hubungan yang lebih partisipatif dan
meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik.
Pelayanan publik yang
berkualitas atau prima merupakan salah satu ciri good governance.
Instansi pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan prima (excellent
service) dan harus memastikan bahwa layanan yang diberikan dapat diakses
oleh semua lapisan masyarakat. Dalam
rangka menjaga pelayanan publik yang berkualitas dan transparan serta memenuhi
harapan masyarakat, diperlukan penilaian kinerja terhadap lembaga publik. Sebagai
payung hukum atas IPP, Pemerintah telah menetapkan kebijakan dalam bentuk Peraturan
Menteri Pendayagunaan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pedoman
Penilaian Kinerja Unit Penyelenggara Pelayanan Publik yang menghasilkan Indeks
Pelayanan Publik. IPP merupakan salah satu indikator prioritas nasional dalam
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2022. (Bappenas, 2021)
IPP adalah indeks yang digunakan
untuk mengukur kinerja pelayanan publik di lingkungan kementerian, lembaga, dan
pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan Aspek Kebijakan Pelayanan, Aspek
Profesionalisme SDM, Aspek Sarana Prasarana, Aspek Sistem Informasi Pelayanan
Publik, Aspek Konsultasi dan Pengaduan serta Aspek Inovasi. Penyusunan indikator IPP dihasilkan melalui
persilangan 6 (enam) prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dalam pelayanan
publik (keadilan, partisipasi, akuntabilitas, transparansi, berdaya guna, dan
aksesibilitas) dan 6 (enam) aspek penilaian kinerja instansi terhadap pelayanan
publik (kebijakan pelayanan, sarana prasarana, konsultasi dan pengaduan,
profesionalisme SDM, sistem informasi pelayanan publik, dan inovasi pelayanan.
(Kemenpan RB, 2020)
Di sisi yang lain, salah satu
upaya untuk melakukan evaluasi dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan
publik juga perlu disusun indeks kepuasan masyarakat (IKM) sebagai tolok ukur
untuk menilai tingkat kualitas pelayanan. IKM memuat data dan informasi tentang
tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran secara
kuantitatif dan kualitatif atas pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan
dari aparatur penyelenggara pelayanan publik dengan membandingkan antara
harapan dan kebutuhannya. Regulasi terkait IKM sudah ditetapkan dalam bentuk Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 14 tahun 2017 tentang Pedoman
Penyusunan IKM Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. (Ombudsman, 2020)
Proses reformasi birokrasi untuk
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik
dengan aparatur berintegritas tinggi, produktif, dan melayani secara prima
dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik mengalami dinamika pada lebih dari
dua dekade terakhir. Penyederhanaan birokrasi dan implementasi TIK pada
pemerintahan diharapkan dapat menjadi agile governance agar meningkatkan
pelayanan publik. Namun disisi lain, apakah pemerintah benar-benar siap
beradaptasi dan berinovasi dengan megoptimalkan TIK atau pemerintah gagap dan
tidak siap terhadap efek double disruption yang dipicu oleh pandemi yang
memaksa untuk menggunakan TIK dalam upaya pencegahan dan penyebaran virus
COVID-19 tanpa mengesampingkan pelayanan publik. Sehingga, fenomena ini perlu
diteliti lebih lanjut untuk memperkaya teori, pengetahuan, lesson learn
dan evaluasi bagi sektor publik. Desain model pada penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 1. Penelitian
ini juga berkontribusi secara empiris tentang hubungan reformasi birokrasi, penyederhanaan
birokrasi dan agile governance yang dimoderasi TIK dan pandemi untuk
meningkatkan pelayanan publik yang diukur dengan IPP dan IKM di Indonesia
karena belum banyak yang membahas tentang permasalahan ini.
Referensi
Alhomod, S. M. and Shafi, M. M. (2012) ‘Best Practices in E government: A review of Some Innovative Models Proposed in Different Countries’, International Journal of Electrical & Computer Sciences, 12(2), pp. 1–6.
Estevez, E. and
Janowski, T. (2013) ‘Electronic Governance for Sustainable Development -
Conceptual framework and state of research’, Government Information Quarterly,
30(SUPPL. 1). doi: 10.1016/j.giq.2012.11.001.
Grönlund, Å.,
Andersson, A. and Hedström, K. (2005) ‘State-of-the-art in eGovernment in
developing countries, including needs, lessons learned, and research findings’.
Haning, M. T.
(2018) ‘Reformasi Birokrasi di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Administrasi
Publik’, Jurnal Analisis Kebijakan dan Pelayanan Publik, 4(1), pp. 25–37.
Holmqvist, M.
and Pessi, K. (2006) ‘Agility through scenario development and continuous
implementation: A global aftermarket logistics case’, European Journal of
Information Systems, 15(2), pp. 146–158. doi: 10.1057/palgrave.ejis.3000602.
Huang, P. Y.,
Pan, S. L. and Ouyang, T. H. (2014) ‘Developing information processing
capability for operational agility: Implications from a Chinese manufacturer’,
European Journal of Information Systems, 23(4), pp. 462–480. doi:
10.1057/ejis.2014.4.
Huque, A. S.
and Zafarullah, H. (2018) ‘Public management reform in developing countries’,
Public Sector Reforms in Developing Countries, 1(1), pp. 10–22. doi:
10.4324/9780203797587-2.
Kumar, R. and
Best, M. L. (2006) ‘Impact and sustainability of E-government services in
developing countries: Lessons learned from Tamil Nadu, India’, Information
Society, 22(1), pp. 1–12. doi: 10.1080/01972240500388149.
Luna, A. J. H.
de O., Kruchten, P. and de Moura, H. P. (2015) ‘Agile Governance Theory:
conceptual development’, pp. 1–22. Available at:
http://arxiv.org/abs/1505.06701.
Lusch, R. F.,
Vargo, S. L. and Tanniru, M. (2010) ‘Service, value networks and learning’,
Journal of the Academy of Marketing Science, 38(1), pp. 19–31. doi:
10.1007/s11747-008-0131-z.
Mutula, S. and
Wamukoya, J. M. (2009) ‘Public sector information management in east and
southern Africa: Implications for FOI, democracy and integrity in government’,
International Journal of Information Management, 29(5), pp. 333–341. doi:
10.1016/j.ijinfomgt.2009.04.004.
Nurhestitunggal,
M. and Muhlisin, M. (2020) ‘Penyederhanaan Struktur Birokrasi: Sebuah Tinjauan
Perspektif Teoretis dan Empiris Pada Kebijakan Penghapusan Eselon III dan IV’,
Jurnal Kebijakan Pembangunan Daerah, 4(1), pp. 1–20. doi:
10.37950/jkpd.v4i1.100.
Rasul, I. and
Rogger, D. (2018) ‘Management of Bureaucrats and Public Service Delivery:
Evidence from the Nigerian Civil Service’, Economic Journal, 128(608), pp.
413–446. doi: 10.1111/ecoj.12418.
Scott, J. K.
(2006) ‘E the People Engagement and Websites’.
Tiwana, A. and
Konsynski, B. (2010) ‘Complementarities between organizational IT architecture
and governance structure’, Information Systems Research, 21(2), pp. 288–304.
doi: 10.1287/isre.1080.0206.
Ugyel, L.
(2014) ‘Explaining hybridity in public administration: An empirical case of
bhutan’s civil service’, Public Administration and Development, 34(2), pp.
109–122. doi: 10.1002/pad.1685.
Vernanda, R.
(2020) ‘Kesiapan Indonesia Menuju Agile Governance’, Konferensi Nasional Ilmu
Administrasi 4.0 (KNIA 4.0), pp. 1–6. Available at:
http://180.250.247.102/conference/index.php/knia/article/view/147.