Agile Governance sebagai Pengungkit Reformasi Birokrasi Guna Optimalisasi Pelayanan Publik


Oleh Mochammad Rizal Alim Kuncoro, S.Kom., M.Sc, 14 September 2023
Sumber: tegalkab.go.id

Pada era orde baru, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan kepentingan penguasa seolah-olah sudah menjadi menjadi perilaku di kalangan birokrat. Bahkan birokrasi yang berjalan di dalamnya seakan-akan dibangun untuk memperkuat para penguasa dan para kroninya sebagai kerajaan pejabat (Thoha, 2012).  Sedangkan, birokrasi berfungsi untuk menentukan kemiskinan, kesenjangan, dan pertumbuhan ekonomi suatu negara (Rasul and Rogger, 2018). Perilaku birokrat yang cenderung melalukan KKN semakin mengerucutkan image negatif birokrasi publik di masyarakat (Dwiyanto et al., 2002). Oleh karena itu, Pemerintah melakukan reformasi birokrasi untuk melakukan perubahan yang lebih baik terhadap birokrasi sebelumnya.

Memasuki era reformasi, tantangan pemerintah Indonesia dalam mewujudkan good governance masih mengalami hambatan dengan adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap layanan publik. Krisis yang muncul tersebut akibat bangunan birokrasi masa lalu, bahkan memicu protes baik di pemerintah pusat maupun daerah (Dwiyanto et al., 2002; Thoha, 2012). Pada saat yang sama, implikasi perilaku birokrat yang cenderung tidak mendukung pelayanan publik telah menyebabkan tujuan awal birokrat dalam memberikan layanan publik bergeser ke arah pragmatisme dan menurunkan integritas dan kualitasnya (Horhoruw et al., 2012). Seharusanya penyelenggaraan layanan publik harus dilakukan tanpa adanyaKKN (Girindrawardana, 2002).

Reformasi birokrasi pada pemerintahan Indonesia dilakukan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dengan aparatur berintegritas tinggi, produktif, dan melayani secara prima dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik. Upaya yang dilakukan menuju reformasi birokrasi dengan melakukan pembaharuan pada segala bidang pemerintahan, termasuk mengubah amandemen UUD 1945 beberapa kali (Haning, 2018). Mendukung pernyaatan tersebut, Nurhestitunggal and Muhlisin (2020) menyampaikan bahwa reformasi birokrasi merupakan bagian dari pembaharuan menyeluruh di bidang ekonomi, politik, hukum, serta agama dan sosial budaya. Reformasi tersebut ditujukan untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Selain dalam rangka mengamankan demokrasi dan mendukung perekonomian, reformasi juga ditujukan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) (Huque and Zafarullah, 2018).

Penerapan kebijakan otonomi daerah yang bertujuan agar daerah dapat mengembangkan dan mengoptimalkan potensinya termasuk dalam mewujudkan good governance  memiliki dampak negatif lainnya yaitu terjadinya KKN yang meluas di tingkat daerah, disparitas layanan publik antar daerah, dan ketidaksiapan daerah untuk mengelola secara mandiri tugas dan fungsi pemerintahan (Girindrawardana, 2002). Di sisi lain kegagalan birorkasi dalam merespon kondisi krisis (krisis ekonomi, kepercayaan, sosial, kesehatan, maupun politik) dan ketidakpastian akan menghambat tercapainya good governance. Kegagalan itu sangat ditentukan oleh faktor kekuasaan, insentif, akuntabilitas, dan budaya birokrasi (Dwiyanto et al., 2002) dan komponen birokrasi merupakan komponen yang paling lambat dalam perubahan (Haning, 2018).

Good governance merupakan muara dari penyelenggaraan pelayanan publik yang membutuhkan kompetensi birokrasi untuk mendesain dan melaksanakan kebijakan (Mutula and Wamukoya, 2009). Idealnya, birokrasi melakukan penataan administrasi kebijakan publik dan terlepas dari semua kepentingan politik untuk meningkatkan pelayanan publil. Namun, pada kenyataannya birokrat sulit terlepas dari kepentingan politik (Haning, 2015). Perjalanan reformasi birokrasi di Indonesia mengalami banyak hambatan dan tantangan, sehingga dibutuhkan sebuah formula lain untuk mendorong good governance yaitu dengan melakukan penyederhanaan birokrasi agar pemerintah dapat lebih agile merespon perubahan lingkungan yang bergejolak untuk meningkatkan pelayanan publik.

Penyederhanaan birokrasi merupakan bagian dari reformasi tata kelola sektor publik yang lebih luas secara global dengan mengacu pada 4 (empat) bidang tematik yaitu: reformasi peran negara, reformasi fungsi sentral pemerintahan, reformasi terhadap akuntabilitas dan mekanisme pengawasan, serta reformasi birokrasi dan manajemen organisasi layanan publik (Turner, 2013). Reformasi birokrasi bukanlah isu baru dalam administrasi publik (Nurhestitunggal and Muhlisin, 2020). Penyederhanaan birokrasi menjadi dua level eselon diperlukan karena karakteristik yang terlalu birokratis sudah tidak sejalan dengan paradigma administrasi publik dan periode reformasi tata kelola sektor publik terkini (Nurhestitunggal and Muhlisin, 2020). Menurut, Ugyel (2014) mengklasifikasikan administrasi publik yang ideal ke dalam 4 (empat) tipe: patronasi, administrasi publik tradisional, new public management (NPM), serta model baru yang sedang berkembang. Karakter yang birokratis merupakan ciri dari administrasi publik tradisional, sedangkan untuk model mutakhir, lebih menekankan pada collaborative governance (Ugyel, 2014).

Pelaksanaan grand design reformasi birokrasi, sampai dengan roadmap kedua memang telah mencapai banyak hal. Reformasi birokrasi memang telah menghasilkan "small wins" yang mengarah pada kemajuan positif dalam administrasi publik, namun belum cukup untuk merubah hegemoni model Old Public Management- Patronage pada birokrasi Indonesia (Nurhestitunggal and Muhlisin, 2020). Penyederhanaan birokrasi melalui penyederhanaan eselonisasi menjadi dua level, sebagai salah satu agenda prioritas pembangunan lima tahun ke depan, dapat menjadi upaya memenuhi tenggat waktu untuk mencapai visi “Pemerintahan Kelas Dunia” dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 (Nurhestitunggal and Muhlisin, 2020).

Penyederhanaan struktur birokrasi secara teroretis, diperlukan karena karakteristik yang terlalu birokratis sudah tidak sejalan dengan paradigma administrasi publik dan periode reformasi tata kelola sektor publik terkini. Secara empiris, penyederhanaan struktur birokrasi diperlukan karena menghambat peningkatan profesionalitas aparatur yang terlihat dari gejala bluffocracy dan consultocracy. Melalui restrukturisasi, sebagai bagian dari reformasi yang komprehensif terhadap birokrasi Indonesia, optimis agar tugas birokrasi dalam making program benefit delivered, sehingga masyarakat menikmati pelayanan, menikmati hasil pembangunan. (Nurhestitunggal and Muhlisin, 2020)

Daya saing merupakan faktor penting bagi dalam melakukan pembangunan yang berkelanjutan dan peningkatan pelayanan.  Organisasi yang berorientasi kepada daya saing akan menghasilkan lebih banyak, lebih cepat, dan lebih baik dengan sedikit  menggunakan sumber daya untuk meningkatkan kinerja organisasi (Estevez and Janowski, 2013). Governance (tata kelola) berperanan penting dalam meningkatkan maupun menjaga daya saing. Governance sangat berhubungan dengan kemampuan untuk mengarahkan (to steer) elemen-elemen yang ada pada negara termasuk pelayanan publik (Bloom, 1991). Pada lingkungan yang dinamis, governance masih berkontribusi penting terutama dalam merespon, mengelola hingga membuat keputusan tentang perubahan lingkungan yang terjadi (Vernanda, 2020).  Respon yang diberikan oleh organisasi haruslah cepat dan tepat karena semakin lama organisasi bertindak berbanding lurus dengan tantangan perubahan lingkungan lainnya yang lebih besar (Lusch, Vargo and Tanniru, 2010).

Agile governance dapat menjadi solusi bagi pemerintah untuk menghadapi era double disruption. Dalam berbagai literature, agile governance muncul untuk mendorong semua yang ada didalam entitsa organisasi agar menerapkan tata kelola organisasi yang agile (gesit) guna meningkatkan proses kinerja dan produktivitas organisasi (Luna, Kruchten and de Moura, 2015). Agile governance diartikan sebagai kemampuan organisasi untuk merespon secara cepat perubahan yang tak terduga dalam memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang semakin berubah (Holmqvist and Pessi, 2006). Sedangkan, pendapat lain tentang agile governance dikemukakan oleh Huang, Pan dan Ouyang, (2014) bahwa dapat diartikan sebagai kemampuan organisasi untuk dapat melakukan efisiensi biaya, serta meningkatkan kecepatan dan ketepatan dalam mengeksploitasi peluang untuk menjadikan tindakan-tindakan inovatif dan kompetitif.

Selain itu, Luna, Kruchten dan de Moura (2015) mendeskripsikan 6 (enam) prinsip  agile governance yakni: (1) good enough governance : tingkat tata kelola harus selalu disesuaikan dengan konteks organisasi; (2) business-driven: bisnis harus menjadi alasan untuk setiap keputusan dan tindakan. (3) human focused: masyarakat harus dihargai dan diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam tata kelola pemerintahan; (4) based on   quick   wins: keberhasilan yang diraih secara cepat harus dirayakan dan dijadikan  motivasi untuk lebih mendapatkan banyak rangsangan dan hasil; (5) systematic and adaptive approach: tim harus dapat mengembangkan kemampuan intrinsik untuk dapat merespon perubahan secara cepat dan sistematis; (6) simple design and continuous refinement: tim harus mampu memberikan hasil yang cepat dan selalu meningkat. Dalam menerapan prinsip agile governance ini, dibutuhkan kemampuan organisasi untuk memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang digunakan untuk mengeksploitasi lingkungan yang cepat berubah (Tiwana and Konsynski, 2010).

TIK dapat mempengaruhi suatu organisasi terhadap proses bisnisnya dalam pengambilan keputusan untuk menempatkan organisasi pada posisi strategis dan berkompeten. Melalui kapabilitas dan kapasistas organisasi dalam mengoptimakan TIK, organisasi akan lebih mudah untuk menjadi agile dalam menghadapi tantangan dan hambatan dari perubahan lingkungan yang bergejolak (Vernanda, 2020). Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia, berusaha memanfaatkan TIK untuk meningkatkan kualitas administrasi pemerintahan dan kualitas komunikasi dengan warga negara. TIK menawarkan peluang kepada pemerintah untuk lebih agile dalam memberikan layanan dan berinteraksi yang lebih baik kepada semua konstituen; masyarakat, kalangan bisnis, dan mitra pemerintah lainnya (Chen, 2002).

Implementasi TIK pada pemerintahan memberikan banyak manfaat dalam berbagai urusan. Manfaat tersebut antara lain peningkatan efisiensi, kualitas layanan publik, transparansi, partisipasi publik, dan pengembangan ekonomi (Kumar and Best, 2006). Dampak positif dari TIK tersebut merupakan bagian dari prinsip-prinsip good governance (Grönlund, Andersson and Hedström, 2005). Kunci implementasi TIK pada pemerintahan bukan adopsi, melainkan adaptasi agar bisa melakukan ekploitasi dan explorasi sumber daya untuk meningkatkan kinerja.

Proses reformasi birokrasi Indonesia menuju good governance sempat terjadi turbulensi karena terjadinya wabah virus COVID-19. Pandemi COVID-19 bukan hanya berdampak pada sektor publk, melainkan juga memberikan dampak yang merugikan sangat besar pada sektor bisnis. Efeknya, pemerintah gagap dan tidak siap menangani gejolak perubahan yang cepat, kondisi yang bingung, situasi yang tidak jelas dan sangat kompleks.

Bermula pada maret 2020, kasus COVID-19 Indonesia kian meningkat dan menyebar ke berbagai daerah, sehingga hampir semua kegiatan terhambat bahkan berhenti termasuk pelayanan publik.  Mengingat dampak yang ditimbulkan dari pandemi COVID-19 ini cukup besar, pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka mempercepat penanganan COVID-19. Ini membuat beberapa aktivitas yang biasa dilakukan secara langsung diberhentikan. Pelayanan birokrasi yang semula dilakukan secara konvensional (tatap muka) dipaksa untuk berapdaptasi dengan memaksimalkan pelayanan birokrasi berbasis teknologi. Dengan harapan birokrasi tetap mampu melayani masyarakat dengan baik dalam situasi pandemi COVID-19. Birokrasi pemerintah dapat mengembangkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan, mempermudah interaksi dengan masyarakat, dan mendorong akuntabilitas, serta transparansi pelayanan publik (Kumar and Best, 2006).

Penarapan TIK pada sektor publik dapat membantu birokrat dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan menyajikan pelayanan publik yang berkualitas(Alhomod and Shafi, 2012). Pada situasi pandemi, pelayanan birokrasi dipaksa untuk mengubah strategi agar tetap bisa melayani masyarakat dengan baik yang diharapkan mampu membuat perilaku kerja birokrat tetap efektif dan efisien meskipun bekerja dari rumah (work from home). Lembaga publik tetap harus bertanggung jawab dalam menjalankan pelayanan, dukungan TIK dapat menjadi peluang pemerintahan lebih responsif dan agile. Selain itu,  Scott (2006), juga mendefinisikan penerapan teknologi informasi oleh sebuah lembaga pemerintahan digunakan sebagai upaya mentransformasikan hubungan dengan rakyat, sektor swasta maupun aktor kepentingan lainya sehingga memunculkan hubungan yang lebih partisipatif dan meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik.

Pelayanan publik yang berkualitas atau prima merupakan salah satu ciri good governance. Instansi pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan prima (excellent service) dan harus memastikan bahwa layanan yang diberikan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.  Dalam rangka menjaga pelayanan publik yang berkualitas dan transparan serta memenuhi harapan masyarakat, diperlukan penilaian kinerja terhadap lembaga publik. Sebagai payung hukum atas IPP, Pemerintah telah menetapkan kebijakan dalam bentuk Peraturan Menteri Pendayagunaan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Penyelenggara Pelayanan Publik yang menghasilkan Indeks Pelayanan Publik. IPP merupakan salah satu indikator prioritas nasional dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2022. (Bappenas, 2021)

IPP adalah indeks yang digunakan untuk mengukur kinerja pelayanan publik di lingkungan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan Aspek Kebijakan Pelayanan, Aspek Profesionalisme SDM, Aspek Sarana Prasarana, Aspek Sistem Informasi Pelayanan Publik, Aspek Konsultasi dan Pengaduan serta Aspek Inovasi.  Penyusunan indikator IPP dihasilkan melalui persilangan 6 (enam) prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dalam pelayanan publik (keadilan, partisipasi, akuntabilitas, transparansi, berdaya guna, dan aksesibilitas) dan 6 (enam) aspek penilaian kinerja instansi terhadap pelayanan publik (kebijakan pelayanan, sarana prasarana, konsultasi dan pengaduan, profesionalisme SDM, sistem informasi pelayanan publik, dan inovasi pelayanan. (Kemenpan RB, 2020)

Di sisi yang lain, salah satu upaya untuk melakukan evaluasi dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik juga perlu disusun indeks kepuasan masyarakat (IKM) sebagai tolok ukur untuk menilai tingkat kualitas pelayanan. IKM memuat data dan informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif atas pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan publik dengan membandingkan antara harapan dan kebutuhannya. Regulasi terkait IKM sudah ditetapkan dalam bentuk Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 14 tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan IKM Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. (Ombudsman, 2020)

Proses reformasi birokrasi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dengan aparatur berintegritas tinggi, produktif, dan melayani secara prima dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik mengalami dinamika pada lebih dari dua dekade terakhir. Penyederhanaan birokrasi dan implementasi TIK pada pemerintahan diharapkan dapat menjadi agile governance agar meningkatkan pelayanan publik. Namun disisi lain, apakah pemerintah benar-benar siap beradaptasi dan berinovasi dengan megoptimalkan TIK atau pemerintah gagap dan tidak siap terhadap efek double disruption yang dipicu oleh pandemi yang memaksa untuk menggunakan TIK dalam upaya pencegahan dan penyebaran virus COVID-19 tanpa mengesampingkan pelayanan publik. Sehingga, fenomena ini perlu diteliti lebih lanjut untuk memperkaya teori, pengetahuan, lesson learn dan evaluasi bagi sektor publik. Desain model pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Penelitian ini juga berkontribusi secara empiris tentang hubungan reformasi birokrasi, penyederhanaan birokrasi dan agile governance yang dimoderasi TIK dan pandemi untuk meningkatkan pelayanan publik yang diukur dengan IPP dan IKM di Indonesia karena belum banyak yang membahas tentang permasalahan ini.

 

Referensi

 Alhomod, S. M. and Shafi, M. M. (2012) ‘Best Practices in E government: A review of Some Innovative Models Proposed in Different Countries’, International Journal of Electrical & Computer Sciences, 12(2), pp. 1–6.

Estevez, E. and Janowski, T. (2013) ‘Electronic Governance for Sustainable Development - Conceptual framework and state of research’, Government Information Quarterly, 30(SUPPL. 1). doi: 10.1016/j.giq.2012.11.001.

Grönlund, Å., Andersson, A. and Hedström, K. (2005) ‘State-of-the-art in eGovernment in developing countries, including needs, lessons learned, and research findings’.

Haning, M. T. (2018) ‘Reformasi Birokrasi di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Administrasi Publik’, Jurnal Analisis Kebijakan dan Pelayanan Publik, 4(1), pp. 25–37.

Holmqvist, M. and Pessi, K. (2006) ‘Agility through scenario development and continuous implementation: A global aftermarket logistics case’, European Journal of Information Systems, 15(2), pp. 146–158. doi: 10.1057/palgrave.ejis.3000602.

Huang, P. Y., Pan, S. L. and Ouyang, T. H. (2014) ‘Developing information processing capability for operational agility: Implications from a Chinese manufacturer’, European Journal of Information Systems, 23(4), pp. 462–480. doi: 10.1057/ejis.2014.4.

Huque, A. S. and Zafarullah, H. (2018) ‘Public management reform in developing countries’, Public Sector Reforms in Developing Countries, 1(1), pp. 10–22. doi: 10.4324/9780203797587-2.

Kumar, R. and Best, M. L. (2006) ‘Impact and sustainability of E-government services in developing countries: Lessons learned from Tamil Nadu, India’, Information Society, 22(1), pp. 1–12. doi: 10.1080/01972240500388149.

Luna, A. J. H. de O., Kruchten, P. and de Moura, H. P. (2015) ‘Agile Governance Theory: conceptual development’, pp. 1–22. Available at: http://arxiv.org/abs/1505.06701.

Lusch, R. F., Vargo, S. L. and Tanniru, M. (2010) ‘Service, value networks and learning’, Journal of the Academy of Marketing Science, 38(1), pp. 19–31. doi: 10.1007/s11747-008-0131-z.

Mutula, S. and Wamukoya, J. M. (2009) ‘Public sector information management in east and southern Africa: Implications for FOI, democracy and integrity in government’, International Journal of Information Management, 29(5), pp. 333–341. doi: 10.1016/j.ijinfomgt.2009.04.004.

Nurhestitunggal, M. and Muhlisin, M. (2020) ‘Penyederhanaan Struktur Birokrasi: Sebuah Tinjauan Perspektif Teoretis dan Empiris Pada Kebijakan Penghapusan Eselon III dan IV’, Jurnal Kebijakan Pembangunan Daerah, 4(1), pp. 1–20. doi: 10.37950/jkpd.v4i1.100.

Rasul, I. and Rogger, D. (2018) ‘Management of Bureaucrats and Public Service Delivery: Evidence from the Nigerian Civil Service’, Economic Journal, 128(608), pp. 413–446. doi: 10.1111/ecoj.12418.

Scott, J. K. (2006) ‘E the People Engagement and Websites’.

Tiwana, A. and Konsynski, B. (2010) ‘Complementarities between organizational IT architecture and governance structure’, Information Systems Research, 21(2), pp. 288–304. doi: 10.1287/isre.1080.0206.

Ugyel, L. (2014) ‘Explaining hybridity in public administration: An empirical case of bhutan’s civil service’, Public Administration and Development, 34(2), pp. 109–122. doi: 10.1002/pad.1685.

Vernanda, R. (2020) ‘Kesiapan Indonesia Menuju Agile Governance’, Konferensi Nasional Ilmu Administrasi 4.0 (KNIA 4.0), pp. 1–6. Available at: http://180.250.247.102/conference/index.php/knia/article/view/147.